Tuesday, November 5, 2019

Kisah Anak Alami Gangguan Jiwa karena Gadget, Jadi Pemarah dan Ogah Sekolah

Penggunaan gadget smartphone sudah banyak mencandui masyarakat, khususnya kalangan anak-anak yang gemar bermain game online. Tak sedikit diantaranya bahkan sampai mengalami gangguan kejiwaan akibat terpapar game secara intens dalam jangka waktu panjang.

Kejiwaan yang tak stabil membuat sang anak menjadi mudah emosi dan berapi-api jika ada hal-hal yang tak disukainya.


Kondisi tersebut semakin memprihatinkan lantaran si anak harus meninggalkan bangku sekolah dan aktivitas sehari-hari yang biasa dilakoni.

Setidaknya itulah yang dialami Yuda Erlangga, bocah asal Klaten, Jawa Tengah, yang sempat mengalami gangguan mental akibat kecanduan game online.

Oleh orangtuanya, Yuda dibawa ke sebuah tempat rehabilitasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) bernama Yayasan Jamrud Biru, untuk mendapat perawatan.

“Anak saya dirawat sejak 22 September sampai tanggal 8 November. Jadi 2 minggu 2 hari,” kata Bagio, ayah Yuda saat dihubungi Okezone, Jum’at (25/10/2019).

Warga Griya Bukit Jaya, Cileungsi, Bogor itu menuturkan, sang anak kerap marah dan mengamuk bila ponselnya diambil saat bermain.

Yuda juga tak segan-segan melawan orangtua jika ponselnya tak langsung diberikan.

“Kadang-kadang malam malah nggak tidur, main game. Diminta gak boleh, disuruh berhenti marah-marah. Ya semenjak itu sudah jelas, bahwa anak saya ini memang sudah kecanduan,” ujarnya.

Perubahan sikap Yuda diakui Bagio sudah terlihat sejak lama. Selain pemarah, bocah kelas 2 SMP itu juga menjadi seorang yang tertutup dan enggan bersosialisasi dengan dunia luar.

Yuda bahkan harus meninggalkan bangku sekolah karena dinilai bermasalah.

“Sebenarnya dulu gak lama (main game). Tapi semenjak dia, kan pernah punya gangguan ya, agak-agak depresi dulu. Di sekolah juga gak nyaman karena gurunya galak. Sama teman-temannya mungkin, ya sering dibully juga. Akhirnya dia sering nggak masuk, sampai-sampai sudah DO. Karena nggak sekolah-sekolah lagi, keasikan main game,” jelasnya.

“Dia juga jadi malas ibadah, emosinya juga tinggi apalagi kalau diambil handphonenya, susah tidur karena pengennya main game terus, sama itu suka marah-marah,” akunya.

Bagio sendiri tak menyangka jika handphone yang awalnya diberikan untuk menjadi penyemangat anaknya bersekolah, ternyata berbuah malapetaka.

Sang anak menjadi seorang pecandu game yang biasa menghabiskan waktu bermain game 5-7 jam dalam sehari.

“Saya kasih (handphone) satu setengah tahun lalu. Tadinya biar dia lebih semangat untuk sekolah sebenarnya, ternyata malah jadi boomerang buat orangtuanya. Jadi anaknya keasikan dengan main gamenya. Sehari bisa lebih dari 7 jam,” ungkapnya.

Merasa anaknya sudah memiliki kecanduan game akut yang sudah merusak kepribadiannya, pihak keluarga akhirnya berinisiatif membawa Yuda ke Yayasan Jamrud Biru yang terletak di Kampung Babakan Jalan Asem Sari II RT 03 RW 04, Kelurahan Mustikasari, Mustikajaya, Kota Bekasi, Jawa Barat.

Yuda merupakan pasien keempat yang dirawat akibat kecanduan game online.

“Sebagai orangtua kami tidak mau masa depan anak seperti itu. Ditambah dia orangnya pendiam dan pemalu juga, nggak mau kemana-mana, hanya di rumah terus. Kemarin itu sebelum dirawat, ibunya sering nangis karena anaknya hanya main game terus, sampai-sampai nggak sekolah, nggak keluar rumah karena malu sama lingkungannya karena gak sekolah, akhirnya dia keasikan main game itu,” paparnya.

Usai menjalani perawatan selama 2 minggu lebih, Yuda akhirnya diperbolehkan pulang. Bagio bersyukur anaknya bisa pulih kembali dan mulai menunjukkan hal-hal positif.

“Alhamdulillah, yang pertama terpenting jiwanya itu sudah pelan-pelan pulih. Contohnya dia sudah mau keluar rumah, berani salat ke musala, tidak malu lihat orang, pokoknya sudah agak mandiri. Yang penting lagi dia ibadahnya bagus. Memang sekarang masih main game, tapi teratur, dibatasi. Kalau siang 1,5 jam kalau malam 1 jam,” ujarnya.

Menyadari kesalahannya terdahulu, Bagio kini lebih bijak dalam mengawasi sang anak bermain gadget.

Masalah yang dialami ia jadikan sebagai pelajaran hidup yang berharga, yang bisa menjadikannya orangtua yang lebih baik.

“Memang sih ya salah saya dari awal terlalu memberikan kebebasan kepada anak sehingga jadi ketergantungan sama game. Makanya sebenarnya pendidikan agama itu harus utama, penggunaan gadget harus dibatasi, tanpa itu nanti seperti yang dulu. Memang tetap main, cuma dibatasi,” pungkasnya.

Sumber: okezone